“Perpaduan Hati yang Luka: Misi Sulit dalam Budaya Basa-Basi”
Menyatukan hati itu sudah berat. Tapi menyatukan hati-hati yang sama-sama pernah terluka? Jauh lebih sulit.
Dan di tengah masyarakat kita—khususnya budaya Jawa yang menjunjung tinggi kesopanan luar namun sering menyembunyikan gejolak dalam—misi ini terasa nyaris mustahil.
Topeng Sosial: Halus di Depan, Tertikam di Belakang
Masyarakat Jawa dikenal lembut, penuh unggah-ungguh, dan halus dalam berbicara. Tapi, tidak semua kehalusan berarti kejujuran hati.
- Di depan tampak tersenyum, di belakang menusuk perlahan.
- Di hadapan saling meminta maaf, di belakang masih menyimpan dendam.
- Tertawa saat berkumpul, tapi menggunjing saat berpisah.
Ini bukan tuduhan, ini realita. Sebuah wajah sosial yang dibentuk oleh budaya untuk menjaga keharmonisan luar, namun sering mengorbankan kejujuran dalam.
Dan inilah tantangan utama ketika kita bicara soal kebersamaan dan perpaduan hati.
Hati yang Luka Tak Bisa Dipaksa Menyatu
Bayangkan dua orang yang sama-sama terluka dipaksa bersatu dalam satu forum, satu kelompok, satu misi.
Apa yang terjadi? Mereka bisa saja bersalaman, berpelukan, bahkan menyebut kata “maaf” dengan air mata. Tapi jika luka itu belum diobati, semua itu hanya formalitas.
Kebersamaan yang dibangun di atas hati yang masih berdarah hanya akan menjadi panggung kepura-puraan. Tampak kompak, padahal penuh bom waktu.
Kita tidak bisa menyatukan hati jika masing-masing belum selesai dengan lukanya.
Dan di sinilah letak pekerjaan rumah kita bersama: berani menyembuhkan diri sebelum memaksakan bersatu.
Budaya “Dipendem” yang Membusuk
Dalam tradisi Jawa, ada istilah “dipendem” (dipendam). Jika tersinggung, disenyumi. Jika marah, diamkan. Jika kecewa, telan sendiri. Tapi rasa tidak pernah hilang—ia hanya tertunda, dan kelak akan membusuk jadi bisikan jahat, gosip, sindiran, bahkan sabotase.
Dan selama budaya ini terus dilestarikan, maka perpaduan hati hanya akan menjadi mimpi.
Langkah-Langkah Menuju Penyatuan yang Sejati
Lalu, bagaimana caranya menyatukan hati-hati yang penuh luka? Tidak instan. Tapi ada langkah yang bisa ditempuh:
- Sadari dan akui luka itu ada. Jangan pura-pura baik.
- Beri waktu untuk memulihkan diri. Penyembuhan itu proses, bukan proyek.
- Buka ruang bicara yang jujur namun penuh empati. Tidak ada pemaksaan, hanya saling mendengar.
- Berani memaafkan bahkan sebelum diminta. Karena kita ingin damai, bukan ingin menang.
- Bangun budaya baru: kejujuran yang sopan, bukan basa-basi yang mematikan.
Penutup: Kebersamaan Sejati Tidak Lahir dari Kepura-Puraan
Kita harus berhenti mengejar “kebersamaan palsu” demi tampilan luar. Mari bangun kebersamaan sejati, yang tumbuh dari hati yang pulih dan keikhlasan yang nyata.
Kita tidak butuh orang-orang yang saling peluk di depan, tapi saling tikam di belakang.
Kita butuh orang-orang yang mungkin masih belajar memaafkan, tapi jujur dalam prosesnya.
Karena hanya hati yang sehat yang bisa bersatu. Dan hanya hati yang jujur yang bisa benar-benar bersama.
By: Andik Irawan